Tepat hari ini, 20 tahun sudah lelaki rapuh itu tinggal di atas pohon tua yang tak selayak nya seorang manusia menjadikan pohon tua sebagai tempat tinggal.

“Hei pak ! mau apa kau naik ke atas pohon itu?” tanya seorang siswi SMA yang kebetulan sedang melintas.
“Saya mau istirahat nak”Jawab lelaki itu dengan singkat. “Bagaimana bisa bapak istirahat di atas pohon sebesar ini. Mustahil sekali pak.”Kata-kata Farah seolah tak percaya akan keadaan lelaki paruh baya itu. “Akh, sudah. Kamu tidak akan pernah percaya pada saya. Pergi saja nak, tidak usah mengurusi urusan saya.”Kata Pak Paimin sambil meninggalkan Farah. “Huh, aku kan mau tahu. Oh iya, nama bapak siapa?”Teriak Farah. “Nama saya Paimin nak !”
Farah merasa tidak puas dengan hanya menanyakan nama Pak Paimin. Lantas ia bergegas untuk mencari informasi lebih lanjut ke warga dekat lokasi pohon berada. “Permisi bu, boleh saya minta waktu nya?”Tanya Farah sambil melangkahkan kaki nya ke sebuah warteg. “Iya, ada apa ndo? Mau pesan apa?””Oh, tidak bu, tidak. Saya bukan mau pesan makanan. Tapi, saya mau nanya sesuatu tentang bapak tua yang tinggal di atas pohon di ujung jalan sana bu.”Kata Farah sambil menunjuk ke arah pohon tua.
“Oh, bapak itu. Kita jangan membicarakan nya di sini yo ndo. Kita masuk saja ke dalam ya.”Kata ibu pemilik warteg.
Setelah Farah mendapat informasi yang begitu membuat nya puas, lalu ia berencana untuk setiap hari nya membawakan makanan ke Pak Paimin. Ia merasa iba dan merasa kasihan sekali pada pak Paimin.
“Hei bapak ! kita ketemu lagi.”Kata Farah sambil membawa rantang makanan.
“Aduh, kamu lagi nak. Ada apa kamu kesini? Mau nanya rumah saya dimana? Nomor telepon?”Kata pak Paimin dengan guyonan nya.
“Ye ... bukan pak. Geer banget si bapak. Saya mau bawain makanan ini ke bapak. Nih pak, di makan ya.” Kata Farah sembari menyodorkan rantang makanan nya itu. “Tidak, tidak ! saya tidak mau terima makanan mu. Saya tidak mau menjadi pengemis.”Jelas bapak itu sambil menaiki pohon kesayangan nya itu. “Pak ! Pak ! terima saja makanan ku ini. Saya tahu bapak belum makan kan?”Teriak Farah.
Setelah di bujuk dengan berbagai cara, Pak Paimin tetap saja menolak. Farah pun hanya bisa menekuk muka nya. Ia lantas berfikir untuk memberi makanan nya secara diam-diam agar Pak Paimin mau menerima nya. Akhir nya, usaha Farah kali ini di terima Pak Paimin. Pak Paimin tidak mengetahui makanan yang ia makan adalah pemberian Farah.
Suatu hari, Farah ingin sekali mengobrol dengan Pak Paimin. Dia berharap kali ini Pak Paimin mau berbicara dengan nya. “Helo bapak Imin, hehe”Sapa Farah dengan panggilan yang ia buat untuk Pak Paimin. “Ya ampun, kamu lagi kamu lagi nak. Haduh, kamu ini seperti hantu yang datang secara tiba-tiba. Mau apa lagi kamu kesini ?” tanya Pak Paimin. “Hehe ... saya kan pans berat bapak. Maka nya saya datang ke sini melulu. Saya cuma mau ngobrol-ngobrol sama bapak. Eits, tapi bapak jangan naik ke atas pohon dulu. Jangan tinggalin saya !” jelas Farah.
Setelah beberapa lama mereka berbincang, Farah yang tadi nya terlihat ceria. Sekarang raut muka nya berubah menjadi tetesan air mata. Hati nya seperti teriris pisau yang tajam. Ia tak bisa membayangkan jikalau diri nya menjadi Pak Paimin. Bayangkan saja, Pak Paimin sudah 20 tahun tinggal di atas pohon. Ia merantau ke Jakarta dari kampung halaman nya di daerah Mandailing Natal, Aceh. Ia rindu sekali dengan keluarga nya di sana.
Setiap hari nya, ia menyambung hidup dengan mengamen. Terkadang ia harus merelakan tubuh nya yang berkeriput menjadi kuli panggul di pasar. Sungguh ironis sekali. Tiba-tiba Farah bertanya pada Pak Paimin dengan suara yang tersendak-sendak.“Memang, tidak ada lembaga yang mau menampung bapak?”
“Waktu itu sih pernah ada nak. Tapi, saya tidak mau ... “ Belum selesai pak Paimin berbicara, lantas Farah memotong pembicaraan. “Kenapa tak mau pak? Justru di sana bapak bisa hidup selayak nya seorang manusia pak. Tidak seperti sekarang ini. Hidup melunta-lunta tak tau arah.”
“Saya tidak mau hidup bergantungan dengan orang lain nak. Saya mau hidup mandiri saya mau menunjukkan pada dunia bahwa saya bisa dengan usaha dan kerja keras saya sendiri !!””Hidup Pak Imin !!”Teriak Farah dengan penuh semangat 45’. “Yaudah pa, saya pulang dulu ya, sudah hampir maghrib. Farah lalu pergi dengan mengucap salam dan salim dengan Pak Paimin.
Keesokan hari nya, Farah kembali ke pohon tua itu. Ia berniat untuk mengantarkan makanan dan ia ingin mengobrol lagi dengan Pak Paimin. “Eh, kamu nak ! mau apa lagi kamu kesini?”Tanya pak Paimin pada Farah. “Saya bawa makanan nih pak. Dan saya mohon bapak makan makanan ini ya. Plissss !”
“Oh, iya saya makan nak. Wah bau nya harum ya nak. Pasti sedap ya, saya belum pernah makan makanan seenak ini.”Puji pak Paimin. “Iya dong pa. Pak, pake sendok dong pa. Jangan pakai tangan.””Ya ampun iya nak, saya tidak melihat kalau ada sendok.”
Farah merasa heran dengan kelakuan Pak Paimin. Kemudian, tangan Farah di lambaikan ke hadapan Pak Paimin. Farah tersentak kaget. Mata pak Paimin sama sekali tidak bergerak. “Ya Allah, bapak buta?” Tanya nya penasaran. “Iya nak. Kamu baru tahu? Saya kira kamu sudah tahu nak.” Mendengar perkataan itu rasa sedih mendatangi nya. Dan, ia tak bisa menahan kemudian muka Farah pecah dengan tangisan yang tersedu-sedu.
Bapak-bapak tua yang selama ini menurut nya adalah manusia paling menderita karena harus tinggal di atas pohon, ternyata memiliki fisik yang tak sempurna pula. Selama ini, Pak Paimin hanya bisa mengira-ngira dan hanya bisa mengandalkan firasat nya untuk berjalan dan naik keatas pohon. “Sudah lah nak. Jangan menangisi hal yang tak sepantas nya kamu tangisi. Bapak paling tidak suka di tangisi. Seperti orang mati saja kamu tangisi.”Kata-kata itu seolah Pak Paimin tahu. Padahal, mata nya tak melihat.
“Kok, bapak tahu? Kan bapak nggak ngeliat.”
“Walaupun mata saya tak bisa melihat, tapi hati saya bisa merasakan nak.”
“Oh, gitu ya pa. Bapak hebat ya. Oh iya Pak, bapak besok ikut saya ke rumah saya ya pak.”“Saya kan bilang nak. Saya tidak mau merepotkan orang lain. Saya mau hidup mandiri. Jadi, percuma saja kalau kamu mengajak bapak.”Kata Pak Paimin menolak ajakan Farah. “Ayolah pak ... Plissss” Farah terus mebujuk.
BERSAMBUNG .....